Jumat, 14 Maret 2014

Kampung Jawa Tondano

Sejarah Kampung Jawa Tondano

. SEKILAS PENYEBAB PERANG JAWA (1825 – 1830)
Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai perang Jawa ( 1825 – 1830 ) telah menelan korban tewas di pihak tentara Hindia Belanda sebanyak 15000 orang (8000 orang tentara Eropah dan 7000 orang pribumi), sedangkan di pihak pengikut Diponegoro sedikitnya 200.000 orang tewas.Perang ini tidak hanya perang melawan Belanda namun juga perang (sesama) saudara antara orang kraton yang berpihak ke Diponegoro dan yang anti Diponegoro (antek Belanda).
Beberapa faktor yang menyebabkan meletusnya perang Diponegoro adalah sebagai berikut;
i. Kekuasaan terselubung penjajah di kesultan Jogyakarta.
Campur tangan penjajah (Belanda dan Inggris) dalam pemerintahan Kesultanan Jogyakarta tersirat dalam kebijakan dan peraturan Kesultanan yang menguntungkan penjajah. Bahkan sah tidaknya kedudukan seorang sultan harus mendapat persetujuan dari penjajah, dan orang-orang yang tidak mau bekerjasama dengan penjajah disingkirkan. Akibatnya beberapa pangeran yang dipecundangi penjajah merasa sakit hati (salah satunya Pangeran Diponegoro ?).
ii. Intrik dalam suksesi kerajaan.
Ketika HB III mangkat pada tahun 1814 putra mahkotanya (Pangeran Jarot – HB.IV) masih berusia 10 tahun, dan untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh wali kesultanan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (adik kandung HB III) dan Pangeran Diponegoro. (putra tertua HB III dari selir). Konon Diponegoro pernah ditawari oleh ayahnya (HB III) untuk menggantikannya bila ia mangkat, namun ditolak oleh Diponegoro. Penolakan ini kemungkinan disebabkan Diponegoro menyadari bahwa dirinya sebagai anak dari selir raja tentu nantinya akan menghadapi penolakan dan perlawanan hebat dari permaisuri raja dan putra mahkotanya, sementara pihak Belanda pasti tidak akan mengakuinya karena Diponegoro menolak bekerjasama dengan mereka. Meskipun demikian Ratu Ageng sebagai permaisuri dari mendiang HB III merasa khawatir kalau-kalau para wali sultan merebut kursi sultan dari putranya yang masih kecil itu (maklum perebutan kekuasaan sudah sering terjadi dalam kraton). Ratu Ageng melakukan persekongkolan dengan Belanda. Persekongkolan ini membuahkan hasil Belanda mengangkat dan mengakui Pangeran Jarot sebagai Sultan HB IV, dan mengabaikan fungsi wali sultan yang ada. Peristiwa ini menambah kebencian Pangeran Diponegoro Cs kepada Belanda. Kedua faktor tersebut di atas inilah yang melatar belakangi Pangeran Diponegoro memberontak kepada Belanda. Meskipun demikian Diponegoro belum secara terbuka menyatakan perlawanannya kepada Belanda, karena disamping jumlah pangeran-pangeran yang berpihak kepadanya tidak banyak juga ada saling curiga diantara mereka disebabkan terjadi krisis kepemimpinan, dan keadaan ini dapat digunakan oleh Belanda mengadu domba dan memukul perlawanan tersebut. Menyadari hal ini Diponegoro harus membuat suatu perlawanan yang bentuknya bukan perlawanan para pangeran saja tetapi adalah perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan ini disadari oleh Diponegoro untuk menghindari tuduhan Belanda bahwa perlawanan ini semata karena keinginan Diponegoro untuk merebut kekuasaan (kelak Belanda tetap saja menuduh demikian). Untuk itu Diponegoro harus menemukan dan berkoalisi dngan suatu kekuatan yang dapat menggerakkan akar rumput (grassroot) agar perjuangannya bersifat meluas dan lama.
iii. Eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Kolusi pejabat istana dengan penjajah telah melahirkan produk-produk hukum yang sangat merugikan kehidupan masyarakat jawa. Kutipan segala macam pajak dan kewajiban menjual hasil bumi kepada penjajah dengan harga murah telah menyebabkan masyrakat menjadi makin miskin dan melarat. Sebaliknya penjajah menjual mimpi rakyat dalam bentuk perjudian, minuman keras, sabung ayam, pelacuran, serta racun demoralisasi lainnya. Penghancuran karakter (character Assasination) masyarakat Jawa yang umumnya beragama Islam oleh penjajah ini telah menggugah Kiay Modjo dan seluruh keluaganya berjihat melawan penjajah.
iv. Momentum Pemicu Pecah Perang.
Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuatjalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemilik-nya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai–pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV. Suasana tegang ini menjadi pemicu meletusnya Perang Jawa


KELUARGA PULUKADANG

Sabtu, 15 Maret 2014
Reksonegoro, Tumenggung (Kyai.Pulukadang)
I. Tentang silsilah Tumenggung Reksonegoro (Kyai.Pulukadang).
Terdapat 2 pendapat mengenai asal usul Tumenggung Reksonegoro. Pendapat pertama yang berkembang di Kamung Jawa tondano mengatakan beliau adalah anak dari Kyai Hasan Muhammad bin Iman Abdul Arif. Kyai hasan Muhammad adalah adik dari Kyai Modjo namun Kyai Hasan Muhammad tidak ikut dalam pengasingan ke Tondano, kemungkinan beliau sudah wafat di Jawa saat berkecamuk perang Jawa. Selain Tumenggung Reksonegoro, Kyai Hasan Muhammad juga memiliki anak yang bernama Wiso (Ngiso) yang ikut dalam pengasingan bersama Reksonegoro ke Jaton.

Pendapat kedua mengatakan Reksonegoro (Raden Tumenggung Reksonegoro) adalah putra dari Pangeran Hangabehi - anak Sultan Hamengkubuwono I. Pendapat ini berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan bagian urusan silsilah (kekancingan) kraton Yogyakarta (lihat sertifikat di bawah).

Berdasarkan cerita turun temurun dari mbah-mbah di Kampung Jawa Tondano disebutkan Reksonegoro dan Wiso adalah bersaudara namun ada sebutan khusus yang diberikan kepada Reksonegoro yaitu "Pulukadang tu'a", dan sebutan ini tidak muncul pada cikal bakal keluarga Baderan yang berasal dari 3 orang kakak beradik, begitu juga dengan keluarga Zes yang diturunkan dari 2 orang kakak beradik. Sebutan "Pulukadang tu'a" menandakan ada yang disembunyikan oleh mbah-mbah pendiri kampung jawa Tondano, dan kalau dihubungkan dengan pendapat kedua boleh jadi ayah Reksonegoro ini adalah seorang Pangeran namun ia termasuk dalam sebagian Pangeran yang berpihak pada Belanda. Boleh jadi juga Reksonegoro dan Wiso saudara sekandung lain ayah, ibu mereka berasal dari negri "Pulukadang" dan boleh jadi fam Pulukadang diambil untuk mengenang ibu mereka. Wallahualam.
[rekso-kraton1.jpg][rekso-kraton2.jpg]

II. Tentang Keluarga.

Menikah dengan putri Tondano bermarga TUMBELAKA dan memiliki 1 orang anak :
1. Umarnadi Pulukadang.

III.Otobiografi Singkat.
Gelar tumenggung pada Reksonegoro dapat ditemui pada dokumen-dokumen Belanda, menandakan ia seorang bupati. Reksonegoro ketika sampai di Tondano masih berusia 20an tahun




Minggu, 16 Agustus 2009
Reksonegoro, Tumenggung (Kyai.Pulukadang)
I. Tentang silsilah Tumenggung Reksonegoro (Kyai.Pulukadang).
Terdapat 2 pendapat mengenai asal usul Tumenggung Reksonegoro. Pendapat pertama yang berkembang di Kamung Jawa tondano mengatakan beliau adalah anak dari Kyai Hasan Muhammad bin Iman Abdul Arif. Kyai hasan Muhammad adalah adik dari Kyai Modjo namun Kyai Hasan Muhammad tidak ikut dalam pengasingan ke Tondano, kemungkinan beliau sudah wafat di Jawa saat berkecamuk perang Jawa. Selain Tumenggung Reksonegoro, Kyai Hasan Muhammad juga memiliki anak yang bernama Wiso (Ngiso) yang ikut dalam pengasingan bersama Reksonegoro ke Jaton.


Pendapat kedua mengatakan Reksonegoro (Raden Tumenggung Reksonegoro) adalah putra dari Pangeran Hangabehi - anak Sultan Hamengkubuwono I. Pendapat ini berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan bagian urusan silsilah (kekancingan) kraton Yogyakarta (lihat sertifikat di bawah).

Berdasarkan cerita turun temurun dari mbah-mbah di Kampung Jawa Tondano disebutkan Reksonegoro dan Wiso adalah bersaudara namun ada sebutan khusus yang diberikan kepada Reksonegoro yaitu "Pulukadang tu'a", dan sebutan ini tidak muncul pada cikal bakal keluarga Baderan yang berasal dari 3 orang kakak beradik, begitu juga dengan keluarga Zes yang diturunkan dari 2 orang kakak beradik. Sebutan "Pulukadang tu'a" menandakan ada yang disembunyikan oleh mbah-mbah pendiri kampung jawa Tondano, dan kalau dihubungkan dengan pendapat kedua boleh jadi ayah Reksonegoro ini adalah seorang Pangeran namun ia termasuk dalam sebagian Pangeran yang berpihak pada Belanda. Boleh jadi juga Reksonegoro dan Wiso saudara sekandung lain ayah, ibu mereka berasal dari negri "Pulukadang" dan boleh jadi fam Pulukadang diambil untuk mengenang ibu mereka. Wallahualam.(TOUJATON)

[rekso-kraton1.jpg][rekso-kraton2.jpg]

II. Tentang Keluarga.
Menikah dengan putri Tondano bermarga TUMBELAKA dan memiliki 1 orang anak :
1. Umarnadi Pulukadang.

III.Otobiografi Singkat.
Gelar tumenggung pada Reksonegoro dapat ditemui pada dokumen-dokumen Belanda, menandakan ia seorang bupati. Reksonegoro ketika sampai di Tondano masih berusia 20an tahun



Kegiatan Lomba Hadra/Rodat pada Acara FSBDT ke IX di Reksonegoro

Seiring dengan berjalannya waktu, maka hadra/Rodat oleh Mbah-Mbah telah meracik beberapa kelengkapan seni budaya dimaksud dengan memasukkan unsur-unsur gerakan pencak silat dan dipadukan dengan ketukan-ketukan Rebana yang bervariasi sehingga memperoleh satu kesatuan gerak yang indah dan serasi..., Pada Lomba FSBDT ke IX, di lombakan juga Jenis Hdra modern atau kreasi yang paling banyak menarik perhatian serta sangat fenomenal...



PENGAJIAN ARISAN HARI SENIN, AN-NUR PIMPINAN SULISTIOWATY PULUKADANG

Pengajian Hari Senin Arisan An-Nur mengikuti Lomba Damesan pada kegiatan festival Seni budaya jaton ke IX di reksonegoro Tanggal 6 -9 maret 2014, bertempat dihalam masjid Almagfirah reksonegoro,